Kamis, 21 Desember 2023

“Silvana Limbuk” Insinyur Perempuan Aceh Pertama

AYAM berkokok, Subuh tiba. Usai shalat, sosok ibu menjarang panci ke tungku, meniup ke bara, api menyala. Percik  kayu, ranting,  dijilat api, mengepul mengalir ke  celah dapur,  asap  meliuk bergerak menyemangati burung berkicauan. Derap alam desa  di pagi-pagi. 

Di saat air memanas, nasi ditanak, sang ibu bergegas menyiapkan sarapan pagi bagi putri sulungnya tak lama lagi harus bergerak bersekolah rakyat, SD. Ada saja lauk dibuat, adonan telur dengan sambal, plus pucuk ubi. 

Pekarangan mereka memberi asupan kehidupan.

Hayatun Nusuf - - di judul: Silvana Limbuk, julukan baginya hadiah perpeloncoan ketika diterima kuliah di Jurusan Teknik Kimia UGM, Jogja  - -  kecil menyalami sang ibu, pamit ke  Abu, sapaan ayah. Ia  bergegas  bergerak ke jalanan setapak tidak bersepatu. Hayatun hanya punya teklek, terompa kayu bercantelan benen, karet. Embun bening pagi berarak menghiasi dedaunan, turut menyemangati. 

Di saat menyeberangi kali, gigitan dingin terasa mengalir hingga ke ubun. Momen Hayatun selalu memgingat lekat  bening kilauan mata Abu, sapan ayah, gigih mendorongnya bersekolah. 

“Kamu anak pandai, bersekolah tinggilah.”

Abu tak kuatir akan si putri sulung berjalan seorang diri jauh ke sekolah.

“Meunyoe teupat niet ngon kasat, darat laut Tuhan peulara.” 

Bila lurus niat dan tujuan, di mana pun berada akan dijaga Allah.

*Deskripsi di atas versi saya saja, tidak ditemui di buku Hayatun Nusuf, Insinyur Perempuan Aceh Pertama. penulisnya, saya kenal, Syarifah Nurlinda, akrab disapa Linda. kami bertemu pada 1985, setelah dua tahun saya tamat SMA, baru berkuliah di IISIP, Jakarta. Linda salah satu kawan seangkatan. Sebelumnya ia pun kuliah di Universitas Indonesia.

Adalah dua pekan lalu saat saya di Jogja, menyapa Linda Fakhry, apakah dapat dibeli bukunya di Gramedia Jogja?  Saya mengikuti di Facebook beberapa tokoh menulis resensi buku ini, termasuk kolomnis senior Aceh, Fachry Ali.

Linda mengabari, belum tersedia karena jumlah cetakan buku masih terbatas. Ia berjanji mengirim ke kediaman kami di Jakarta. 

Sebuah kesempatan amat langka. Seorang anak menulis literair tentang ibunya luar biasa; anak desa  nun jauh di pelosok kampung, putri pula, di lingkungan masyarakat Aceh tradisional. 

Ibu Linda, Hayatun sampai dijuluki “Inter”, untuk singkatan internasional, julukan warga bagi mereka seakan menjauh dari adat istiadat tradisonal Aceh.  

Hayatun inter!

Saya menjadi teringat akan kalimat DR Janet Steele, pengajar Literary Journalism di George Washington University. Di kala sebulan memandu workshop di Komunitas Utan Kayu, TEMPO, 2001.  “Tulislah dulu hal yang paling dekat dengan kita,” kata Steele. 

 “Ya dekat secara jarak.”

“Ya dekat secara hubungan.”

Maka tak salah saya katakan Linda amat beruntung.

* DARI membaca Hayatun Nusuf, ceritanya lengkap tentang pergumulan bersekolah, dari desa, lanjut ke kecamatan, terus lagi harus ke ibukota propinsi, SMA, menyeberang lautan ke Universitas Gajah Mada, berlayar  dengan kapal Belanda. Pulang ke kampung menjabat Kepala Dinas Perindustrian, lalu menjadi Sekditjen di Kementrian Preindustrian, di pusat Jakarta, lantas memimpin dua balai besar  di bawah kementrian sebelum pensiun:

Penggalan perjalanan hidup Hayatun lengkap. Bila dipecah, bagi saya ada momen dapat dikemas menjadi sebuah script film besar.

Syahdan, di saat hendak berkuliah ke tanah Jawa, ke UGM, sebagai perempuan, ia sudah harus ada pendamping. Kebetulan ada kerabat mencintai Hayatun. Kerabat itu pun melamarnya, di mana sebelumnya ada keinginan seorang Wedana ganteng, ingin menjadikannya isteri kedua, yang ditolaknya mentah-mentah. 

Orang tua setuju Hayatun menikah siri.

Hayatun meminta calonnya itu agar  hanya menikah, tapi tetap seperti pacaran. Tidak berhubungan suami isteri hingga  gekar sarjana diperoleh.

Deal! 

Pada momen inilah sangat langka. 

Suami isteri tampil seperti pacaran, hanya pegangan tangan, naik Vespa sebatas pegangan pinggang.

Kehidupan anak kost bukan tak ada “nakal”, bak jaman now.

Di buku berlanggam penuturan Aku ini,  Hayatun menceritakan eranya sudah ada kawan putri satu kost memasukkan pacar ke kamar. Mereka bersama rekan kost  putri lain bisa secara bijak mengusir momen demikian.

Pergumulan batin Hayatun dan suami ini sesuatu. Halal suami isteri, tapi berjalan seperti pacaran. Bagi keduanya butuh luar biasa kesabaran. 

Mereka  dapat melaluinya hingga kemudian respei pernikahan terjadi. Peata  di kampung setelah gelar insinyur teknik kimia diperoleh. 

Tak sulit bagi Linda, saya duga menuliskan menjadi skenario fim. Ia sosok pembaca kuat buku, sudah semacam titah turunan. Toh tinggal menambah dedkripsi setting, di mana masih dapat digali dari Hayatun hingga saat ini tetap fit, bugar, karena rutin berolahraga dan terus berekserimen dengan tanaman, dengan alam. 

* USAI menamatkan membaca buku ini, saya seperti mendapat banyak hal konfirmasi benar adanya. 

Fokus.

Banyak membaca.

Bahkan Ibunda Hayatun-lah sejak ia lecil mencarikan bacaan bagi anak-anaknya, ke mana-mana di saat buku masih langka.

Di jejak digital saya, dapat ditelusuri, acap saya menulis dropnya  minat menbaca buku, musibah peradaban. Terlebih membaca buku sastra bermutu, novel bagus. 

Juga pemahaman kata adalah doa.

Saya pun  mendapatkan konfirmasi sahih, kata energi. 

Dalam tradisi Aceh, juga kami di Minangkabau, syair kekuatan. Mungkin karena latar itu, Nelson Mandela, Presiden Afrika Selatan, begitu menjabat, setahun kemudian dapat meotivasi Tim Rugby Nasionalnya juara dunia. Ia memotivasi Tim Rugby melalui sebuah pusi berjudul Invictus.

Invictus sudah lama difilmkan. Dalam penerbangan Garuda, Jakarta-Bali, jika pesawat  Boeing 737 - - bukan Airbus yang baru - - film Invictus masih dapat  disimak di screen videonya. 

Juara dari lubuk hati.

Segala yang besar lahir dari sisi intangible asset. 

Penggalan ini dapat disimak kisah pertemuan Hayatun dengan Ibunda Prediden Barack Obama, seorang antropolog, dulu sering ke Aceh. Sang Ibu Obama peduli dengan keberagaman peradaban, kesetaraan gender

Hayatun, masih kerabat Pahlawan Nyut nyak Dhien ini konsisten di sana.

Bila tak salah saya pernah bertemu sekali. Semalam kepada Linda saya menitipkan salam, doa, sehat, fit dan happy hari-hari bagi Ibu Hayatun. Aamiin. 

Akhirnya, saya menunggu Film Hayatun tayang di Bioskop*** 

Oleh Narliswandi Piliang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar